Selasa, 18 Juni 2013

Cerita tentang keberanian


CERITA TENTANG KEBERANIAN
keberanian adalah suatu kualitas, yakni sesuatu yang hanya dapat dirasakan dan dialami, keberanian bukan kata-kata, 
bukan rumusan pikiran.

Pengarang Amerika, Ernest Hemingway, merumuskan kualitas keberanian sebagai ”kemuliaan di bawah tekanan”. 
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keberanian sebagai ”mempunyai hati yang mantap dan rasa 
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya”.

John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang terbunuh, dalam bukunya, Profiles in Courage (1955), setelah meneliti 
riwayat keberanian tujuh senator Amerika Serikat menyimpulkan, ”kepentingan nasional, dan bukan kepentingan pribadi 
atau politik, yang menjadi perangsang pokok dari tindakan keberanian mereka”.

Hilang

Cerita keberanian adalah cerita yang hilang di masa kini. Keberanian adalah cerita lama, bahkan menjorok masuk ke 
dalam wilayah mitologi-mitologi Indonesia. Keberanian itu ”bukan zamannya lagi”. Keberanian itu bodoh.

Inilah zaman kecerdikan, zaman penipuan, zaman pura-pura, kalau perlu pengkhianatan. Keberanian? Sudah kuno dan 
cuma bagus buat menghibur anak sebelum tidur. Keberanian itu kekanak-kanakan.

Kualitas keberanian itu tidak dapat diajarkan. Kita bisa mendidik teknik bertinju, berkelahi, silat, memainkan senjata, 
taekwondo, tetapi kita tak mungkin mendidik keberanian. Keberanian itu bukan soal fisikal.

Memang di zaman kuno keberanian selalu dihubungkan dengan ketahanan tubuh, keterampilan berkelahi, dan berperang, 
tetapi keberanian bisa dilakukan oleh orang yang sakit-sakitan.

Keberanian adalah sebuah sikap. Sikap untuk bertahan atas prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai 
tekanan yang membuatnya tidak populer dan kehilangan.

Seorang guru besar akan mempertahankan berbagai temuan ilmiahnya dengan gigih meski ia dicaci maki, diejek, dipecat 
dari jabatannya. Ia tidak bergeming meski rekan-rekannya menyebut sebagai profesor goblok. Ia bersikap demikian 
karena yakin bahwa yang dipikirkannya benar. Dirinya tidak penting dalam kebenaran yang ditemukannya karena semua 
itu penting bagi orang banyak. Bahkan namanya pun tidak penting.

Penuh risiko

Keberanian sering diartikan secara dangkal, yaitu kenekatan. Itulah sebabnya, orang mencoba mendidik keberanian 
dengan mengajarkan sikap tahan banting kalau dihajar fisiknya. Cerita-cerita IPDN dan geng-geng motor memakai doktrin 
ini. Mendidik orang percaya diri karena tahan digebuki dan pandai menggebuki. Hasilnya bukan keberanian, tetapi 
kepengecutan.

Keberanian itu subyektif, artinya tumbuh dari dalam, bukan dibentuk dari luar. Anda boleh menjadi penembak jitu, tetapi 
akan gemetaran dan ngumpet dalam pertempuran. Penembak jitu itu pengecut karena beraninya membunuh dari tempat 
persembunyiannya yang aman. Sedangkan keberanian itu jelas tidak aman. Keberanian itu penuh risiko.

Risiko demi kepentingan nasional inilah yang sekarang absen di negeri ini. Kepentingan diri sendiri, kepentingan 
kelompok, dengan mengabaikan kepentingan bersama, itulah pengecut. Inilah sebabnya gejala kepengecutan 
diwujudkan dalam ”keberanian gerombolan” sekarang ini. Merasa jago, pahlawan, berani, benar dengan unjuk bersama 
dalam gerombolan.

Kepengecutan dinamai keberanian dalam gerombolan. Berbuat dan memutuskan sendirian? Lebih baik ngumpet agar 
aman. Keberanian itu baru muncul apabila ngumpet dalam gerombolan.

Kemuliaan

Keberanian itu sebuah kemuliaan, seperti kata Hemingway. Pengarang ini menggambarkan kualitas keberanian lewat 
matador-matador yang siap mati di lapangan melawan banteng. Lewat para sukarelawan yang berperang di lain bangsa. 
Lewat kisah-kisah pemburu singa di Afrika. Mereka ini sendirian menghadapi marabahaya dan maut yang setiap saat 
dapat merenggut jiwanya.

Keberanian juga ditunjukkan Bima dalam cerita Dewaruci yang menempuh rimba raya sendirian tanpa senjata, 
menaklukkan dua raksasa, menaklukkan naga di dasar samudra, demi mencapai kebenaran. Keberanian ditunjukkan 
Raja Salya yang gugur membela negara yang bukan negaranya, bangsa yang bukan bangsanya.

Keberanian itu erat hubungannya dengan apa yang dinamai kebenaran. Slogan zaman revolusi di Indonesia adalah ”
berani karena benar”. Membela kepentingan nasional itu benar meski tidak dibayar, meski tidak diberi makan, meski 
meninggalkan keluarga, dan meski nyawa bayarannya.

Kutipan Nagarakretagama di awal tulisan menunjukkan, ajaran moral penting bagi pemimpin Indonesia, yakni pemimpin 
yang berani ditakuti para koruptor. Kejahatan akan musnah di suatu negara kalau penentu-penentu kekuasaan bertindak 
berani. Presiden, para menteri, gubernur, bupati, lurah, polisi, tentara, dan hakim-hakim adalah penentu-penentu 
kekuasaan yang harus ”berani karena benar”. Tidak usah seluruhnya, ambil saja hakim-hakim yang berani sudah akan 
menyumbang menipisnya kejahatan di negeri ini. Apalagi jika hakim berani, polisi berani, dan para pejabat sipil 
mendukung (tidak usah berani), angka kejahatan akan berkurang.

Mementingkan prinsip

Kebenaran tidak populer dan keberanian kehilangan jabatan adalah contoh-contoh yang digambarkan Kennedy dalam 
bukunya yang memenangi Hadiah Pulitzer itu. Orang yang berani itu sebuah mayoritas, kata Kennedy. Tokoh berani itu 
mulia dan karena itu dikagumi. Ia mulia karena tidak mementingkan diri sama sekali. Ia mementingkan prinsip yang 
berdampak baik bagi orang banyak, bagi kepentingan nasional.

Tidak usah pihak eksekutif dan legislatif yang berani, pihak yudikatif yang berani sudah cukup. Atau pihak legislatif yang 
berani sudah cukup, seperti digambarkan Kennedy di negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar