CERITA TENTANG
KEBERANIAN
keberanian adalah suatu
kualitas, yakni sesuatu yang hanya dapat dirasakan dan dialami, keberanian
bukan kata-kata,
bukan rumusan pikiran.
Pengarang Amerika, Ernest Hemingway, merumuskan kualitas keberanian sebagai ”kemuliaan di bawah tekanan”.
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keberanian sebagai ”mempunyai hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya”.
John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang terbunuh, dalam bukunya, Profiles in Courage (1955), setelah meneliti
riwayat keberanian tujuh senator Amerika Serikat menyimpulkan, ”kepentingan nasional, dan bukan kepentingan pribadi
atau politik, yang menjadi perangsang pokok dari tindakan keberanian mereka”.
Hilang
Cerita keberanian adalah cerita yang hilang di masa kini. Keberanian adalah cerita lama, bahkan menjorok masuk ke
dalam wilayah mitologi-mitologi Indonesia. Keberanian itu ”bukan zamannya lagi”. Keberanian itu bodoh.
Inilah zaman kecerdikan, zaman penipuan, zaman pura-pura, kalau perlu pengkhianatan. Keberanian? Sudah kuno dan
cuma bagus buat menghibur anak sebelum tidur. Keberanian itu kekanak-kanakan.
Kualitas keberanian itu tidak dapat diajarkan. Kita bisa mendidik teknik bertinju, berkelahi, silat, memainkan senjata,
taekwondo, tetapi kita tak mungkin mendidik keberanian. Keberanian itu bukan soal fisikal.
Memang di zaman kuno keberanian selalu dihubungkan dengan ketahanan tubuh, keterampilan berkelahi, dan berperang,
tetapi keberanian bisa dilakukan oleh orang yang sakit-sakitan.
Keberanian adalah sebuah sikap. Sikap untuk bertahan atas prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai
tekanan yang membuatnya tidak populer dan kehilangan.
Seorang guru besar akan mempertahankan berbagai temuan ilmiahnya dengan gigih meski ia dicaci maki, diejek, dipecat
dari jabatannya. Ia tidak bergeming meski rekan-rekannya menyebut sebagai profesor goblok. Ia bersikap demikian
karena yakin bahwa yang dipikirkannya benar. Dirinya tidak penting dalam kebenaran yang ditemukannya karena semua
itu penting bagi orang banyak. Bahkan namanya pun tidak penting.
Penuh risiko
Keberanian sering diartikan secara dangkal, yaitu kenekatan. Itulah sebabnya, orang mencoba mendidik keberanian
dengan mengajarkan sikap tahan banting kalau dihajar fisiknya. Cerita-cerita IPDN dan geng-geng motor memakai doktrin
ini. Mendidik orang percaya diri karena tahan digebuki dan pandai menggebuki. Hasilnya bukan keberanian, tetapi
kepengecutan.
Keberanian itu subyektif, artinya tumbuh dari dalam, bukan dibentuk dari luar. Anda boleh menjadi penembak jitu, tetapi
akan gemetaran dan ngumpet dalam pertempuran. Penembak jitu itu pengecut karena beraninya membunuh dari tempat
persembunyiannya yang aman. Sedangkan keberanian itu jelas tidak aman. Keberanian itu penuh risiko.
Risiko demi kepentingan nasional inilah yang sekarang absen di negeri ini. Kepentingan diri sendiri, kepentingan
kelompok, dengan mengabaikan kepentingan bersama, itulah pengecut. Inilah sebabnya gejala kepengecutan
diwujudkan dalam ”keberanian gerombolan” sekarang ini. Merasa jago, pahlawan, berani, benar dengan unjuk bersama
dalam gerombolan.
Kepengecutan dinamai keberanian dalam gerombolan. Berbuat dan memutuskan sendirian? Lebih baik ngumpet agar
aman. Keberanian itu baru muncul apabila ngumpet dalam gerombolan.
Kemuliaan
Keberanian itu sebuah kemuliaan, seperti kata Hemingway. Pengarang ini menggambarkan kualitas keberanian lewat
matador-matador yang siap mati di lapangan melawan banteng. Lewat para sukarelawan yang berperang di lain bangsa.
Lewat kisah-kisah pemburu singa di Afrika. Mereka ini sendirian menghadapi marabahaya dan maut yang setiap saat
dapat merenggut jiwanya.
Keberanian juga ditunjukkan Bima dalam cerita Dewaruci yang menempuh rimba raya sendirian tanpa senjata,
menaklukkan dua raksasa, menaklukkan naga di dasar samudra, demi mencapai kebenaran. Keberanian ditunjukkan
Raja Salya yang gugur membela negara yang bukan negaranya, bangsa yang bukan bangsanya.
Keberanian itu erat hubungannya dengan apa yang dinamai kebenaran. Slogan zaman revolusi di Indonesia adalah ”
berani karena benar”. Membela kepentingan nasional itu benar meski tidak dibayar, meski tidak diberi makan, meski
meninggalkan keluarga, dan meski nyawa bayarannya.
Kutipan Nagarakretagama di awal tulisan menunjukkan, ajaran moral penting bagi pemimpin Indonesia, yakni pemimpin
yang berani ditakuti para koruptor. Kejahatan akan musnah di suatu negara kalau penentu-penentu kekuasaan bertindak
berani. Presiden, para menteri, gubernur, bupati, lurah, polisi, tentara, dan hakim-hakim adalah penentu-penentu
kekuasaan yang harus ”berani karena benar”. Tidak usah seluruhnya, ambil saja hakim-hakim yang berani sudah akan
menyumbang menipisnya kejahatan di negeri ini. Apalagi jika hakim berani, polisi berani, dan para pejabat sipil
mendukung (tidak usah berani), angka kejahatan akan berkurang.
Mementingkan prinsip
Kebenaran tidak populer dan keberanian kehilangan jabatan adalah contoh-contoh yang digambarkan Kennedy dalam
bukunya yang memenangi Hadiah Pulitzer itu. Orang yang berani itu sebuah mayoritas, kata Kennedy. Tokoh berani itu
mulia dan karena itu dikagumi. Ia mulia karena tidak mementingkan diri sama sekali. Ia mementingkan prinsip yang
berdampak baik bagi orang banyak, bagi kepentingan nasional.
Tidak usah pihak eksekutif dan legislatif yang berani, pihak yudikatif yang berani sudah cukup. Atau pihak legislatif yang
berani sudah cukup, seperti digambarkan Kennedy di negaranya.
bukan rumusan pikiran.
Pengarang Amerika, Ernest Hemingway, merumuskan kualitas keberanian sebagai ”kemuliaan di bawah tekanan”.
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keberanian sebagai ”mempunyai hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya”.
John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang terbunuh, dalam bukunya, Profiles in Courage (1955), setelah meneliti
riwayat keberanian tujuh senator Amerika Serikat menyimpulkan, ”kepentingan nasional, dan bukan kepentingan pribadi
atau politik, yang menjadi perangsang pokok dari tindakan keberanian mereka”.
Hilang
Cerita keberanian adalah cerita yang hilang di masa kini. Keberanian adalah cerita lama, bahkan menjorok masuk ke
dalam wilayah mitologi-mitologi Indonesia. Keberanian itu ”bukan zamannya lagi”. Keberanian itu bodoh.
Inilah zaman kecerdikan, zaman penipuan, zaman pura-pura, kalau perlu pengkhianatan. Keberanian? Sudah kuno dan
cuma bagus buat menghibur anak sebelum tidur. Keberanian itu kekanak-kanakan.
Kualitas keberanian itu tidak dapat diajarkan. Kita bisa mendidik teknik bertinju, berkelahi, silat, memainkan senjata,
taekwondo, tetapi kita tak mungkin mendidik keberanian. Keberanian itu bukan soal fisikal.
Memang di zaman kuno keberanian selalu dihubungkan dengan ketahanan tubuh, keterampilan berkelahi, dan berperang,
tetapi keberanian bisa dilakukan oleh orang yang sakit-sakitan.
Keberanian adalah sebuah sikap. Sikap untuk bertahan atas prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai
tekanan yang membuatnya tidak populer dan kehilangan.
Seorang guru besar akan mempertahankan berbagai temuan ilmiahnya dengan gigih meski ia dicaci maki, diejek, dipecat
dari jabatannya. Ia tidak bergeming meski rekan-rekannya menyebut sebagai profesor goblok. Ia bersikap demikian
karena yakin bahwa yang dipikirkannya benar. Dirinya tidak penting dalam kebenaran yang ditemukannya karena semua
itu penting bagi orang banyak. Bahkan namanya pun tidak penting.
Penuh risiko
Keberanian sering diartikan secara dangkal, yaitu kenekatan. Itulah sebabnya, orang mencoba mendidik keberanian
dengan mengajarkan sikap tahan banting kalau dihajar fisiknya. Cerita-cerita IPDN dan geng-geng motor memakai doktrin
ini. Mendidik orang percaya diri karena tahan digebuki dan pandai menggebuki. Hasilnya bukan keberanian, tetapi
kepengecutan.
Keberanian itu subyektif, artinya tumbuh dari dalam, bukan dibentuk dari luar. Anda boleh menjadi penembak jitu, tetapi
akan gemetaran dan ngumpet dalam pertempuran. Penembak jitu itu pengecut karena beraninya membunuh dari tempat
persembunyiannya yang aman. Sedangkan keberanian itu jelas tidak aman. Keberanian itu penuh risiko.
Risiko demi kepentingan nasional inilah yang sekarang absen di negeri ini. Kepentingan diri sendiri, kepentingan
kelompok, dengan mengabaikan kepentingan bersama, itulah pengecut. Inilah sebabnya gejala kepengecutan
diwujudkan dalam ”keberanian gerombolan” sekarang ini. Merasa jago, pahlawan, berani, benar dengan unjuk bersama
dalam gerombolan.
Kepengecutan dinamai keberanian dalam gerombolan. Berbuat dan memutuskan sendirian? Lebih baik ngumpet agar
aman. Keberanian itu baru muncul apabila ngumpet dalam gerombolan.
Kemuliaan
Keberanian itu sebuah kemuliaan, seperti kata Hemingway. Pengarang ini menggambarkan kualitas keberanian lewat
matador-matador yang siap mati di lapangan melawan banteng. Lewat para sukarelawan yang berperang di lain bangsa.
Lewat kisah-kisah pemburu singa di Afrika. Mereka ini sendirian menghadapi marabahaya dan maut yang setiap saat
dapat merenggut jiwanya.
Keberanian juga ditunjukkan Bima dalam cerita Dewaruci yang menempuh rimba raya sendirian tanpa senjata,
menaklukkan dua raksasa, menaklukkan naga di dasar samudra, demi mencapai kebenaran. Keberanian ditunjukkan
Raja Salya yang gugur membela negara yang bukan negaranya, bangsa yang bukan bangsanya.
Keberanian itu erat hubungannya dengan apa yang dinamai kebenaran. Slogan zaman revolusi di Indonesia adalah ”
berani karena benar”. Membela kepentingan nasional itu benar meski tidak dibayar, meski tidak diberi makan, meski
meninggalkan keluarga, dan meski nyawa bayarannya.
Kutipan Nagarakretagama di awal tulisan menunjukkan, ajaran moral penting bagi pemimpin Indonesia, yakni pemimpin
yang berani ditakuti para koruptor. Kejahatan akan musnah di suatu negara kalau penentu-penentu kekuasaan bertindak
berani. Presiden, para menteri, gubernur, bupati, lurah, polisi, tentara, dan hakim-hakim adalah penentu-penentu
kekuasaan yang harus ”berani karena benar”. Tidak usah seluruhnya, ambil saja hakim-hakim yang berani sudah akan
menyumbang menipisnya kejahatan di negeri ini. Apalagi jika hakim berani, polisi berani, dan para pejabat sipil
mendukung (tidak usah berani), angka kejahatan akan berkurang.
Mementingkan prinsip
Kebenaran tidak populer dan keberanian kehilangan jabatan adalah contoh-contoh yang digambarkan Kennedy dalam
bukunya yang memenangi Hadiah Pulitzer itu. Orang yang berani itu sebuah mayoritas, kata Kennedy. Tokoh berani itu
mulia dan karena itu dikagumi. Ia mulia karena tidak mementingkan diri sama sekali. Ia mementingkan prinsip yang
berdampak baik bagi orang banyak, bagi kepentingan nasional.
Tidak usah pihak eksekutif dan legislatif yang berani, pihak yudikatif yang berani sudah cukup. Atau pihak legislatif yang
berani sudah cukup, seperti digambarkan Kennedy di negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar