Ketulusan cinta kadang membuat hati yang mudah terluka menjadi sekeras baja. Meski disakiti berulang kali, namun cinta itu selalu tumbuh berkembang menjadi kasih sayang. Pengorbanan demi pengorbanan dilakukan untuk orang yang disayang. Tak peduli apa yang orang lain katakan. Rasa cinta yang tumbuh secara tiba-tiba selalu terjadi dimana saja, dan kapan saja. Sama seperti rasa cintaku yang kini tlah berubah menjadi sayang. Rasa itu datang ketika aku dan dia melaksanakan ujian semester satu, dikelas delapan.
Selasa pagi aku berangkat sekolah bersama Ayah. Hari ini hari kedua ujian semester satu. Materi yang diujikan adalah Matematika dan Bahasa Jawa. Tiba di sekolah, aku bertemu Vera dan Icha didepan kelas. Mereka sedang berusaha menghafalkan rumus. Aku pun menyapa mereka, “Vera, Icha…” sapaku.
“Hey, Shel.” Balas mereka serempak.
Selanjutnya aku, Vera, dan Icha masuk ke ruang ujian. Kebetulan kami semua satu ruangan, sehingga kami tidak terpisahkan. Bel tanda masuk ujian pun berbunyi. Guru pengawas pun memasuki ruangan. Setelah berdoa, soal dan lembar jawab pun dibagikan. Kami pun segera mengerjakan soal-soal itu.
“Hey, Shel.” Balas mereka serempak.
Selanjutnya aku, Vera, dan Icha masuk ke ruang ujian. Kebetulan kami semua satu ruangan, sehingga kami tidak terpisahkan. Bel tanda masuk ujian pun berbunyi. Guru pengawas pun memasuki ruangan. Setelah berdoa, soal dan lembar jawab pun dibagikan. Kami pun segera mengerjakan soal-soal itu.
Ketika waktu mengerjakan tinggal sepuluh menit. Aku memanggil Rashky, “Ras, Rashky…” panggilku dengan nada pelan. Rashky pun mendengar, aku segera bertanya satu nomor yang sedari tadi membuatku pusing. “Nomor 21 A/C…??” tanyaku. Rashky menjawab A. Karena ragu aku pun bilang alasanku memilih C dibanding A, namun Rashky ngotot menjawab A. Akhirnya perdebatan kecil pun terjadi, “Aku A…” jawab Rashky.
“Gimana bisa kan sudutnya besar yang C” tanyaku lagi.
“Ya bisa aja kan ini segitiga tumpul, bukan lancip…” tambahnya.
“Tapi kan kalo dihitung jawabannya C bukan A” ucapku ngotot.
“Weh… yo gak bisa… kan bukan pake hitungan… tapi logika….” ucapnya sama-sama ngotot.
“Asshhh… dibilangin ngeyel…”
“Kamu thu yang ngeyel…”
“Gimana bisa kan sudutnya besar yang C” tanyaku lagi.
“Ya bisa aja kan ini segitiga tumpul, bukan lancip…” tambahnya.
“Tapi kan kalo dihitung jawabannya C bukan A” ucapku ngotot.
“Weh… yo gak bisa… kan bukan pake hitungan… tapi logika….” ucapnya sama-sama ngotot.
“Asshhh… dibilangin ngeyel…”
“Kamu thu yang ngeyel…”
Kami tak berdebat lagi, mengingat waktunya tinggal sedikit. Namun, ketika aku akan menulis jawabanku, malah pilihan A yang ku coret. Aku tidak sempat mengganti jawabanku karena bel sudah berbunyi. Ketika Rashky lewat disampingku, dia tidak sengaja melihat jawabanku. Akhirnya dia menyindirku, “Katanya salah, kok malah dipilh sih?” ucapnya sambil keluar kelas. Sejak itu aku mulai menaruh hati pada Rashky.
Aku menceritakan perasaanku pada Vera dan Icha, karena mereka bisa menjaga rahasia. Tanggapan Vera dan Icha sama-sama positif, namun Icha mengingatkanku agar tidak terlalu mengharapkan dia, “Tapi, Shel. Kamu jangan terlalu mengharapkan dia, jangan sampai kamu sakit hati karena dia…” tukas Icha.
“Iya Icha…”
Bel pulang pun berbunyi. Aku melihat Chirly keluar kelas, aku segera menghampirinya. “Hey, Chir. Boleh tanya sesuatu gak?” tanyaku.
“Mau tanya apa, Shel?” jawabnya.
“Kamu masih suka ama Rashky?” tanyaku sedikit ragu.
“enggak kok, emangnya kenapa, Shel?” tanya Chirly.
Aku pun menceritakan perasaanku, namun dia harus bisa jaga rahasia. Chirly pun berjanji tidak akan menceritakan kepada siapa pun. Saat di gerbang sekolah, Chirly sudah dijemput duluan. Tiba-tiba Icha datang memanggilku, “Shelly….”. Aku berbalik, Icha menarikku kebawah pohon, dan bertanya. “Kamu tadi cerita sama Chirly ya, tentang kamu suka sama Rashky?” tanyanya bingung. Aku hanya mengangguk dan bingung akan sikap Icha. “Kenapa kamu cerita sama Chirly? Dia kan mulutnya ember..?” tanya Icha lagi.
“Ya aku tapi kan dia udah janji gak bakal bialng ke siapa-siapa…” balasku santai namun hatiku risau.
“Semoga aja dia nepati janjinya…” ucap Icha. Aku pun mengangguk lagi.
“Iya Icha…”
Bel pulang pun berbunyi. Aku melihat Chirly keluar kelas, aku segera menghampirinya. “Hey, Chir. Boleh tanya sesuatu gak?” tanyaku.
“Mau tanya apa, Shel?” jawabnya.
“Kamu masih suka ama Rashky?” tanyaku sedikit ragu.
“enggak kok, emangnya kenapa, Shel?” tanya Chirly.
Aku pun menceritakan perasaanku, namun dia harus bisa jaga rahasia. Chirly pun berjanji tidak akan menceritakan kepada siapa pun. Saat di gerbang sekolah, Chirly sudah dijemput duluan. Tiba-tiba Icha datang memanggilku, “Shelly….”. Aku berbalik, Icha menarikku kebawah pohon, dan bertanya. “Kamu tadi cerita sama Chirly ya, tentang kamu suka sama Rashky?” tanyanya bingung. Aku hanya mengangguk dan bingung akan sikap Icha. “Kenapa kamu cerita sama Chirly? Dia kan mulutnya ember..?” tanya Icha lagi.
“Ya aku tapi kan dia udah janji gak bakal bialng ke siapa-siapa…” balasku santai namun hatiku risau.
“Semoga aja dia nepati janjinya…” ucap Icha. Aku pun mengangguk lagi.
Keesokkan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Namun, betapa terkejutnya aku, ternyata gossip tentang aku suka sama Rashky sudah menyebar. Aku yakin Rashky pun sudah mendengarnya. Benar saja, saat ulangan tiba, aku mencoba memanggil Rashky, tapi dia pura-pura tidak mendengar panggilanku. Aku jadi galau sendiri, pikiranku terbang kemana-mana. Isatirahat akhirnya tiba, aku menemui Vera dan Icha. Aku menceritakan semua yang ku alami hari ini. Mereka hanya menyuruhku untuk lebih sabar.
Semenjak gossip itu menyebar, aku sering diledek oleh teman-teman yang lain. Vera dan Icha berusaha memberi semangat kepadaku. Sikap Rashky pun sekarang mulai berbeda, dia lebih menjaga jarak denganku. “Apa aku salah mencintai seseorang? Dan seseorang itu adalah Rashky seorang ketua kelas dan ketua osis disekolahku…” gumamku dalam hati. Aku bersama Vera dan Icha duduk didepan ruang guru. Melihatku melamun, Vera pun menghiburku, “Udah lah, Shel. Mending kamu lupain Rashky aja… daripada kamu sakit hati terus?” ucap Vera
“Bener lho, Shel. Dia itu cowok yang gak punya hati…” tambah Icha.
“Bener lho, Shel. Dia itu cowok yang gak punya hati…” tambah Icha.
Aku pun memikirkan ucapan Vera dan Icha. Setelah itu, aku menulis surat untuk Rashky. Tapi, Rashky malah memperlihatkan surat itu keseluruh penghuni kelas ketika aku sedang keluar. Dia juga membuang surat itu ke tempat sampah, namun berhasil dipungut oleh Vera, dan dikembalikan lagi ke Rashky. Ketika aku masuk ke kelas, aku merasa anak-anak yang lain sedang menggunjingkanku. Aku kembali ke tempat dudukku, dan menemukan surat yang kuberikan ke Rashky ada di laci mejaku. Saat ku buka, sakitnya hatiku membaca balasan surat dari Rashky. Vera menghiburku, dan kulihat ia menyembunyikan sesuatu dariku, sesuatu yang telah terjadi ketika aku keluar kelas.
Sudah lebih dari tiga bulan aku dan Rashky saling berjauhan. Namun perasaan dihatiku tak pernah berubah. Aku hanya sedikit menjauh darinya, karena aku tidak ingin terluka lagi. Rashky sekarang juga sudah sedikit berubah, beberapa kali dia memanggilku. Tapi karena salah tingkah, aku malah membentaknya. “Shel, Shel… Ponsel…” ledek Rashky.
“Kalo gak bisa nyebut nama, gak usah manggil-manggil…” bentakku.
“Shel, Shel… Shelly…” ulangnya.
“Ngapain, manggil-manggil lagi? Kurang kerjaan…” bentakku lagi, namun dalam hatiku aku bahagia karena ia memanggilku. Kejadian itu terus terjadi berulang kali, dan membuatku semakin sayang padanya tanpa memikirkan ia pernah menyakiti hatiku. Vera dan Icha pun tetap mengingatkanku agar tidak jatuh untuk kedua kedua kalinya.
“Kalo gak bisa nyebut nama, gak usah manggil-manggil…” bentakku.
“Shel, Shel… Shelly…” ulangnya.
“Ngapain, manggil-manggil lagi? Kurang kerjaan…” bentakku lagi, namun dalam hatiku aku bahagia karena ia memanggilku. Kejadian itu terus terjadi berulang kali, dan membuatku semakin sayang padanya tanpa memikirkan ia pernah menyakiti hatiku. Vera dan Icha pun tetap mengingatkanku agar tidak jatuh untuk kedua kedua kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar