Bagi kebanyakan orang pertanyaan ‘Apakah Allah ada?’ ini seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi karena jawabannya sudah jelas dan nyata. Menanyakan keberadaan Tuhan sama saja dengan menanyakan apakah dirinya sendiri dan semua realitas yang dialaminya benar-benar ada dan nyata.
Bukankah Allah sudah menyatakan dengan jelas keberadaan-Nya kepada semua pikiran dan kesadaran manusia. Keberadaan Allah adalah senyata keberadaan diri kita sendiri. Lihatlah kepada tubuh kita, rasakan bagaimana jantung dan nadi Anda berdenyut, sadarilah bagaimana pikiran kita bekerja; tidakkah itu nyata? Itulah jejak Tuhan yang sangat nyata. Sama seperti sebuah rumah menunjukkan bahwa ada orang yang merancang dan membangunnya, demikianlah diri kita sendiri menyatakan keberadaan Sang Pencipta. Sesederhana itu. Bahkan orang-orang yang sederhana dalam berpikir dapat menerima Tuhan dengan rasionya semudah seperti orang-orang jenius seperti Albert Einstein, Isaac Newton, Blaise Pascal, Thomas Alfa Edison, Michael Faraday, dan lain-lain. Menurut kata-kata kesaksian Einstein, “Perasaan keagamaan para ilmuwan merupakan perasaan kagum akan keselarasan hukum alam, karena keselarasan itu mengungkapkan intelegensi yang sedemikian tingginya hingga kalau diperbandingkan, maka semua pemikiran sistematis dan perbuatan manusia hanya merupakan suatu gambaran yang sama sekali tidak berarti!” ( The World As I See It, halaman 9, dikutip oleh Prof. H. Enoch, M.A., F.Z.S. ). Rasio manusia dapat dengan mudah menerima keberadaan Tuhan dan sebaliknya rasio sangat sulit untuk menyangkalnya. Tetapi ada orang yang memilih membungkam rasionya dan menipu dirinya sendiri.
Mereka yang menyangkal keberadaan Allah sebenarnya sedang membungkam akal sehat dan hati nuraninya sendiri. Dan sebab dari semua itu adalah karena hati mereka yang memberontak terhadap Pencipta mereka. Mereka berusaha menjinakkan rasio mereka dengan menciptakan teori-teori yang menentang keberadaan Tuhan, dan yang paling terkenal adalah teori evolusi. Jadi sebenarnya teori evolusi ini adalah tempat perlindungan yang dibangun oleh para pemberontak, tempat perlindungan yang sebenarnya sangat rapuh dan tidak berdasarkan pada kenyataan dan kebenaran.
Ada satu hal yang sangat sering dijadikan alasan untuk tidak memercayai akan keberadaan Allah. Alasan ini sudah usang dan sebenarnya sangat menggelikan. Ada orang-orang yang berdalih tidak bisa mempercayai keberadaan Tuhan karena mereka tidak bisa melihat-Nya. Tetapi alasan ini tidak masuk akal karena justru kalau Tuhan memang benar-benar ada maka mereka pasti tidak bisa melihat-Nya. Karena alam semesta ini diciptakan Allah maka dengan sendirinya kita tidak bisa menemukan Allah di alam semesta ini sendiri. Bisakah kita menemukan sang tukang kayu yang membuat sebuah meja di dalam meja itu sendiri? Meja itu sendiri menunjukkan jejak karya pembuatnya, karena dari meja itu kita bisa melihat bagaimana keahlian tangan dan pikirannyanya diwujudkan. Biarpun kita membelah dan memotong-motong meja itu kita tidak akan menemukan si tukang kayu di dalamnya. Demikian pula sekalipun kita menyelidiki dan menjelajah alam semesta kita tidak mungkin akan menemukan Allah di situ. Yang akan kita temukan, melalui penyelidikan ilmiah, adalah jejak karya-Nya yang sangat memgagumkan itu, yang menunjukkan dan membuktikan bukan saja akan keberadaan-Nya tetapi juga kebesaran-Nya, hikmat-Nya dan kekuasaan-Nya.
Sang Pencipta sungguh mudah untuk dipercayai keberadaan-Nya sekalipun oleh pikiran yang paling sederhana. Karena itu semua dalih untuk tidak mempercayai-Nya sebenarnya adalah kedok bagi hati mereka yang memberontak terhadap Penciptanya sendiri. Keberadaan diri kita dan alam semesta di mana kita tinggal merupakan suatu wahyu ( pengungkapan, revelation ) dari Sang Pencipta kepada semua pikiran manusia, suatu wahyu yang bersifat umum dan dapat dipikirkan dan ditangkap oleh semua manusia tanpa mempedulikan tingkat kecerdasan mereka. Juga para ilmuwan yang sedang berusaha menyelidiki dan menemukan hukum-hukum alam semesta ini sebenarnya sedang menyelidiki kedalaman dari wahyu umum ini, yang semua itu menunjuk kepada Sang Pecipta itu sendiri. Seorang ilmuwan pernah berkata demikian,
”Ilmu pengetahuan secara mutlak menuntut adanya penciptaan!” Yang berarti bahwa untuk keberadaan alam semesta ini harus ada Sang Pencipta-nya.
”Ilmu pengetahuan secara mutlak menuntut adanya penciptaan!” Yang berarti bahwa untuk keberadaan alam semesta ini harus ada Sang Pencipta-nya.
Atau dapatkah pikiran atau rasio manusia menerima akan adanya sesuatu benda atau kejadian di dalam alam semesta ini yang tidak ada penyebabnya? Ujilah pikiran kita dan aktifkan daya nalar kita dengan pertanyaan ini : mungkinkah jam tangan yang sedang kita pakai atau buku yang sedang kita baca terjadi dengan begitu saja tanpa ada penyebabnya. Bukankah segala sesuatu di dalam alam semesta ini diatur oleh hukum sebab-akibat, artinya segala sesuatu di dalam alam semesta ini pasti ada penyebabnya? Bukankah segala sesuatu yang fana atau yang selalu berubah itu pasti ada penyebabnya? Akal sehat atau rasio kita mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada tidak mungkin disebabkan oleh yang tidak ada. Atau dengan kata lain yang tidak ada tidak mungkin menjadikan dirinya ada. Karena itu alam semesta ini tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada penyebabnya. Jadi alam semesta ini pasti ada yang membuatnya. Cukuplah penjelasan ini untuk memuaskan rasio kita. Sekalipun seorang ilmuwan sekelas Stephen Hawking pun tidak akan bisa membuat rasio kita menyangkal bahwa di bawah langit ini segala sesuatu yang ada pasti ada penyebabnya. Kecuali kalau kita memang memilih untuk membungkam daya nalar kita.
Mungkin ada orang yang akan berpikir lebih jauh : Kalau memang alam semesta ini diciptakan oleh Sang Pencipta, jadi siapakah yang menciptakan atau menyebabkan keberadaan Sang Pencipta itu? Dari mana Ia datang? Di manakah Ia Tinggal?
Marilah kita pikirkan dengan seksama pertanyaan-pertanyaan ini. Perhatikanlah asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan ini. Pertanyaan-pertanyaan itu mengasumsikan bahwa Allah itu fana, tidak kekal, dan tinggal di dalam dan dibatasi oleh ruang dan waktu . Jelas ini salah karena Allah-lah yang menciptakan alam semesta ini, dan karena itu Ia lebih besar daripada alam semesta dan dengan sendirinya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena Tuhan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu maka Tuhan itu kekal dan tidak berubah. Segala sesuatu yang kekal itu tidak memerlukan suatu sebab mengapa Ia ada. Ia ada; dulu, sekarang dan selama-lamanya Ia tetap ada dan Ia tidak pernah tidak ada dan tidak pernah berubah. Segala sesuatu yang tidak kekal suatu saat pernah tidak ada dan ia senantiasa akan berubah tetapi bagi Allah yang kekal tidak demikian halnya.
Jadi bagi Allah segala sesuatu ada dan tidak pernah tidak ada, termasuk alam semesta yang kita diami ini. Tetapi bagi kita sendiri, dari sudut pandang kita, alam semesta ini ada awalnya dan mungkin ada akhirnya juga. Bagi kita yang ada di dalam alam semesta segala sesuatu berubah. Bagi Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu tidak ada perubahan apa-apa bagi diri-Nya. Bagi kita Ia seperti mempunyai suatu gudang persediaan, dan isinya adalah segala sesuatu yang pernah ada, yang sekarang ada dan yang akan ada. Ia juga mempunyai buku catatan segala kejadian yang isinya adalah hal-hal yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi. Tidak ada hal yang baru bagi Allah yang kekal.
Rasio manusia bisa mendeteksi adanya Allah dan adanya suatu kebenaran mutlak, namun dibatasi dalam memahami realitas tersebut. Rasio manusia, yang hanya bisa berpikir dalam kerangka sebab-akibat telah dikunci atau dibatasi. Manusia dengan usahanya sendiri hanya bisa menyelidiki atau menemukan tentang Sang Pencipta sebatas alam semesta yang telah Ia ciptakan dan yang fana ini beserta dengan hukum-hukum yang menjadi pondasinya; dan hanya sebatas kemampuan pikirannya. Demikian juga kita hanya bisa mendapat informasi terbatas mengenai hal ihwal seorang arsitek dengan menyelidiki rumah yang dirancang dan dibangun olehnya. Dengan menganalisa keadaan rumah hasil karyanya itu kita dapat mengetahui keberadaan si arsitek, memperkirakan tingkat kemahirannya, kreatifitasnya, seleranya, estetikanya, pengalamannya, intelegensinya, dan sebagainya. Tetapi hanya sebatas itu. Kita tidak akan mengetahui namanya, nama istri dan anak-anaknya, tempat tinggalnya, umurnya, tingginya, sifat-sifatnya, kebiasaan-kebiasaannya, rencana-rencananya dan pikiran-pikirannya. Informasi tersebut tidak bisa didapat hanya dengan menyelidiki keadaan rumah hasil karyanya, melainkan harus ada informasi tambahan yang bersifat khusus. Demikian juga pengetahuan selanjutnya tentang Sang Pencipta hanya bisa didapat dari pemberian-Nya, bukan dari usaha manusia sendiri tetapi dari wahyu khusus dari Sang Pencipta sendiri. Para filsuf yang menyelidiki tentang Allah dengan tidak menggunakan wahyu khusus ini, yaitu Firman Allah yang ada dalam Kitab Suci, akan “terperangkap dalam hikmatnya sendiri.” Mereka hanya akan berputar-putar saja sampai mereka kebingungan sendiri. Wahyu umum adalah ladang bagi para ilmuwan sedang wahyu khusus adalah bidang bagi para teolog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar