Rabu, 16 November 2011

Paradigma Yang Salah Dalam suatu Kegiatan Masyarakat Tapi dianggap benar Oleh Masyarakat

·         Paradigma Yang Salah Dalam suatu Kegiatan Masyarakat Tapi dianggap benar Oleh Masyarakat.
·         Co Created By Muhammad Adi Firmansyah

#Orang Jujur Dianggap Sok Pahlawan ?


Munkin kebohongan sudah menjadi tradisi kali ya oleh orang atau suatu kegiatan sosial atau masyarakat. Ternyata ada suatu fakta, kejadian yang dialami oleh seorang anak dan ibu, tidak usah di sebutkan ya namanya. Jadi si anak tersebut memang adalah anak yang pintar di kelas,lalu dia dipaksa oleh guru kelas nya untuk meberikan jawaban kepada teman temannya untuk bocoran ujian nasional, si anak tersebut menceritkan hal tersebut kepada ibunya takut kesalahan nantinya. Si ibu tersebut lalu mengadu kepada kepala sekolah di sekolah itu, kepala sekolah bilang kalau dia tidak tau apa apa tentang hal itu,apa mungkin ada yang bocor atau tidak,hal tersebut bocor ke media massa,atas kejadian tersebut orang tua dari murid murid geram terhadap ibu itu. Dengan alasan kenapa harus sok jujur,padahal suatu bocoran itu sudah termasuk hal biasa setiap tahun. Lalu ibu tersebut di suruh minta maaf atas perilakunya, namun tidak diterima oleh masyarakat setempat dengan alsan sudah menjelekan nama kampung itu, dan ibu anak itu diusir oleh warga setempat.

Hem, dari kutipan cerita tersebut disimpulkan bahwa kejujuran itu tidak selalu di anggap suatu kebenaran, kalau secara ibu itu sudah sangat benar tapi mungkin caranya yang salah, di bilang orang jujur sok pahlawan lah atau sok benar lah,padahal ibu sudah menyampaikan sutu kebohongan, jadi mana yang benar suatu kebohongan atau suatu kebohongan lah yang benar, orang kok menyampaikan kebohongantapi malah disalah kan justru di kucilkan,jadi masyarakat memeng sudah tau itu adlah suatu kebohongan yang di tutup tutupi. padhal masyarakat tau itu adalah sutu kebohongan, namun merka juga tau kalu hal itu menguntungkan untuk anak anak mereka, seperi kita ketahui bahwa ujian nasional itu meng sudah tradidi denagn yang nama nya bocoran, jadi para orng tua memang sudah tau jika tidak ada bocoran maka anak anak mereka akan susah dengan sendirinya bahkan banyak yang akan tidak lulus, kalu hal itu terus di diami lalu bagaimana arti kebenaran dan kejujuran di negara kita ini,hem mungkin masa depan nanti akan lebih parah lagi, kalu pelajar mengandalkan bocoran sebagai suatu paradigma yang salah tapi dianggap benar, bagaimana ya masa depan negara ini,masa mau pemimpin masa depan yang tidak jujur.

Jadi kalu pemerintah sudah tau kenapa dia tidak menghapus sistim tersebut, hem ya sepertinya dulu dulu pemerinta sudah ingin membuat sistim lulus nya suatu siswa tidak ada tuh harus ada UN, melainkan pihak sekolah yang menetukan nya murid itu lulus atau tidak lulus ujian tersebut, namun sampe sekarang sudah  tidak ada kabar nya lagi alias sepi atau hanya bualan belaka,kalau sistem pendidikan negara kita terus begini bagaimana masyarakat bisa jujur, dan masa depan pemimpin muda bukan nya masa depan itu adalah pelajar pelajar muda, kalau saya boleh bicara, apa pemerintah takut? bila mengubah sistem tersebut mungkin banyak yang akan tidak lulus, seperti hal nya memulai sutu hal yang bru dari 0. Banyak orang bilang orang jujur pasti akan terinjak, seperti hal yang saya ceritakan di atas.

Hem hem namun yakalo di ulang lagi Sayangnya, dalam menghadapi kebingungan masyarakat tersebut para cerdik
pandai tidak berusaha menempatkan diri sebagai lentera yang menerangi dan
mencerahkan nurani masyarakat. Sebaliknya, opini para para pengamat telah membuat
masyarakat tambah bingung karena opini subyektif tanpa upaya menafsirkan fakta.
Kebingungan masyarakat muncul karena para cerdik pandai telah menggunakan
alat analisis atau paradigma yang salah dalam memandang masalah pendidikan tinggi.
Konsep-konsep seperti privatisasi, kapitalisasi, komersialisasi dan MacDonaldisasi yang
banyak digunakan para pengmat adalah konsep-konsep untuk menggambarkan fenomena
kegiatan pembentukan dan penguasaan modal dalam ekonomi pasar.
Konsep-konsep tersebut memang cocok untuk menggambarkan kegiatan badan
usaha karena dia adalah unit kegiatan usaha pada ekonomi pasa. Sebaliknya, kegiatan
pendidikan pada esensinya adalah pelayanan public yang bersifat nirlaba. Karena itu
konsep-konsep ekonomi pasar tadi ibarat ‘jauh api dari panggangan’, alias tidak tepat
yang dapat melahirkan opini yang menyesatkan tentang perubahan dalam dunia
pendidikan.

Contoh nya Penggunaan konsep ekonomi pasar dalam menganalisi fenomenon pendidikan
tinggi telah menyebabkan beberapa pengamat sampai pada kesimpulan yang amat absurd
dan membingungkan masyarakat. Misalnya, ada pengamat yang menympulkan
“perubahan status dari universitas publik ke BHMN itulah yang menjadi awal kerusakan
sistem penerimaan mahasiswa.” Ada pula yang menyimpulkan “… dan menutup
kemungkinan tercapainya target pemerintah untuk mencapai angka partisipasi sebesar 25
persen dan menghalang-halangi tercukupinya kebutuhan bangsa akan orang-orang pintar,
cerdas dan cakap.” Kesimpulan-kesimpulan ini agak menyesatkan, karena mereka
menggunakan paradigma yang kurang pas dalam memandang kegiatan pendidikan.
Sedikit uraian faktual mungkin dapat memberikan gambaran yang lebih jernih
tentang kondisi pendidikan nasional pada saat ini. Menurut Badan Pusat Statistik, pada
tahun 2003 di Indonesia terdapat 27 juta penduduk usia 19-24 tahun. Jumlah populasi
mahasiswa yang terdaftar di sekitar 2200 PT di Indonesia seluruhnya berjumlah 3,7 juta.

Kalau negara indonesia terus begini bagaimana mau masa depan cerah,sementara pemimpin sering kali buat tidak jujur, seperti masyarakat anggap, contoh, beras itu terbuat dari apa,, pasti jawaban nya dari beras, hem hem kalau jawaban nya seperti itu pasti itu jawaban anak sd,, he he he.. kalau bicara cara panjang nasi itu kan terbuat dari beras air dan panas dan jadi nasi,, itu ialah contoh paradigma yang salah. Nah sekarang kita ambil satu contoh lagi, contoh dalam kegiatan masyarakat sosial seperti teknologi internet, sering kali orang tersorot masuk penjara hanya karena kesalahan kecil karena internet , seperti yang kemarin masalah Prita , mungkin semua tau soal masalah itu bahwa dia komentar di sebuah status sosial namun masalah itu brentet jadi masalah besar dengan menyorot dia ke meja hijau, hem tapi sekarang kabar dia gimana ya, sudah tidak terdengar kabar nya lagi, bisa di simpulkan bahwa dia itu Cuma ingin mengutarakan ke ke cewaan nya terhadap rumah sakit tersebut tapi apa karena Prita kalah kuat jadi dia lah yang kalah. Bisa dilihat bahwa itu adalah suatu hukum yang tidak adil, dimana orang kecil pasti sangat gampang terkena hukum, tapi masyarakat juga ikut andil membantu si Prita, hem secara dia kan masih punya anak yang kecil kecil, jadi sebuah paradigma itu memang suatu hal yang gampang sekali di alami oleh masyarakat.

Nah, dari hal di atas kita lihat bahwa hal tersebut bisa saja terjadi pada setiap orang kapan saja dan dimana saja, berhubung di suruh dosen nya 4000 kata, sekarang sih masih belum dari setangah nya, hem biarin lah sya begadang begadang demi tugas ini, jadi mungkin masih banyak lagi yang harus saya cerita kan lagi, saya akan menceritakan satu hal lagi tentang paradigma yang salah tapi sering sekali dianggap benar oleh masyarakat, contoh Kasus korupsi, mungkin kata kata korupsi sudah sering sekali terdengar di tv atau berita, padahal para pejabat itu tau bahwa perbuatan nya adalah suatu dosa dan kesalahan besar tapi itu sering kali dianggap hal yang biasa,mungkin katanya,,  Ah mumpung lagi ada kesempatan dan gak ada yang tau seperti kasus suap,mereka emang sudah tau bahwa perbuatan nya itu akan merugikan negara tapi dia juga tau perbuatan nya juga akan menguntugkan dirinya sendiri, nah dari kasus prita dan korupsi bisa di bandingkan lebih berat mana hukuman tersebut, kalo secara agama ya jelas lebih berat masalah korupsi tapi kalo masalah hukum hem kayanya lebih berat kasus Prita, kenapa ya bisa begitu ? jawabannya adalah bahwa orang orang yang berada pasti akan lebih di hormati daripada orang lemah. Bisa di Disimpulkan lagi bahwa paradigma itu terjadi dimana mana, ya di dunia sosial, pendidikan, pemerintah, masyarakat Sosial , instansi instansi, agama.

Hem. Sekarang kita bicara tentang masyarakat Sosial ya,Contoh dalam suatu kegiatan kegiatan masyarakat atau organisasi masyarakat atau ormas,  seperti , tidak usah saya di sebutkan nama nya. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme mengatakan bahwa pendidikan harus mempunyai landasan yang jelas dan terarah. Landasan tersebut sebagai acuan atau pedoman dalam proses penyelenggaraan pendidikan, baik dalam konteks institusi pendidikan sekolah maupun luar sekolah.
Landasan yang jelas dan terarah yang dimaksud adalah pendidikan harus berprinsip pada pengembangan nilai-nilai moral dan agama, di samping aspek-aspek lain yang berkaitan dengan bidang-bidang pengembangan. Hal ini sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengantarkan anak didik menuju kedewasaan berpikir, bersikap, dan berperilaku secara terpuji (akhlak al-karimah). Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik (guru dan orang tua) sejak usia dini, yakni ketika masa kanak-kanak.
Pendidikan nilai-nilai moral dan keagamaan pada program PAUD merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan jika hal itu telah tertanam serta terpatri dengan baik dalam setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan keagamaan. Nilai-nilai luhur ini pun dikehendaki menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan sila-sila lainnya dalam pancasila (Hidayat, 2007 : 7.9).
Namun dalam realitasnya dewasa ini terdapat sesuatu yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah masih banyak anak didik dan output pendidikan nasional di Indonesia yang belum mencerminkan kepribadian yang bermoral, seperti sering tawuran antar pelajar bahkan dengan guru, penyalagunaan obat-obat terlarang, pelecehan seksual, pergaulan bebas, dan lain. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, sebenarnya keadaan yang demikian itu tidak lepas dari basic pendidikannya pada masa lampau, yang boleh jadi pada masa itu pengokohan mental-spritualnya masih belum tersentuh secara maksimal, selain faktor lingkungan yang mempengaruhi. Lalu bagaimana tanggung jawab dan solusi institusi pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) atas persoalan tersebut ?
Ide perlunya pengembangan moral dan nilai-nilai agama sejak kecil yang dimulai pada anak usia dini pada dasarnya diilhami oleh sebuah keprihatinan atas realitas anak didik bahkan output pendidikan di Indonesia dewasa ini yang belum sepenuhnya mencerminkan kepribadian yang bermoral (akhlak al-karimah), yakni santun dalam bersikap dan berperilaku sebagaimana contoh yang telah dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kita, khususnya pada jenjang pendidikan yang paling dasar (pra sekolah). Oleh karenanya, sebagai upaya awal perbaikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia maka sangat diperlukan adanya pengembangan moral dan nilai-nilai agama sejak dini sebagai upaya pengokohan mental-spiritual anak.
Setiap masyarakat mempunyai ukuran-ukuran yang digunakan untuk menentukan baik-buruk tingkah laku. Ukuran-ukuran itu dapat berupa tata cara, kebiasaan atau adat-istiadat yang telah diterima oleh suatu masyarakat. Ukuran yang digunakan untuk menentukan baik-buruk inilah yang biasanya disebut dengan istilah moral. Istilah moral ini berkenaan dengan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dengan dunia sosialnya. Berkaitan dengan aturan-aturan berperilaku tersebut, anak dituntut untuk mengetahui, memahami, dan mengikutinya. Perubahan-perubahan dalam dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan penerapan aturan-aturan ini dipandang sebagai perkembangan moral seseorang.
Sedangkan menurut Kohlberg perkembangan moral anak usia prasekolah (PAUD) berada pada tingkatan yang paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral (secara kokoh). Namun sebagian anak usia PAUD ada yang sudah memiliki kepekaan atau sensitivitas yang tinggi dalam merespon lingkungannya (positif dan negatif). Misalkan ketika guru/orang tua mentradisikan atau membiasakan anak-anaknya untuk berperilaku sopan seperti mencium tangan orang tua ketika berjabat tangan, mengucapkan salam ketika akan berangkat dan pulang sekolah, dan contoh-contoh positif lainnya maka dengan sendirinya perilaku seperti itu akan terinternalisasi dalam diri anak sehingga menjadi suatu kebiasaan mereka sehari-hari. Demikian pula sebaliknya kalau kebiasaan negatif itu dibiasakan kepada anak maka perilaku negatif itu akan terinternalisasi pula dalam dirinya.
Dalam mengkaji perkembangan moral anak usia pra sekolah, Kohlberg mem­posisikan mereka pada level yang paling dasar, yaitu level 1 (moral pra­kon­vensional). Pada tahap ini, anak melihat suatu kegiatan dianggap salah atau benar berdasarkan hukuman dan kepatuhan (punishment dan obedience orientation) serta individualisme dan orientasi tujuan instrumental (individualism and instru­mental purpose). Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, suatu tindakan dinilai benar atau salah tergantung pada akibat dari kegiatan tersebut. Suatu kegiatan yang membuat ibu marah dianggap salah dan suatu kegiatan yang membuat ibu senang dianggap baik atau benar.

Sekarang Kita membahas tentang suatu kata paradigma dalam suatu kata. Berikut ini adalah contoh kata Paradigma yang Salah tapi seringkali di anggap benar:
“Ijazah ini harus dilegalisir dahulu oleh Dekan Fakultas Sastra,UNPAD.”
Dalam bahasa Indonesia sehari-hari pemakaian akhiran-ir sangat produktif.
Namun, dalam bahasa Indonesia baku, yang tepat bukan akhiran-ir, tetapi
akhiran -sasi atau -isasi. Jadi bentuk baku kalimat di atas, ialah
“Ijazah ini harus dilegalisasi dahulu oleh Dekan Fakultas Sastra,UNPAD.”

Mengapa demikian? Kata legalisasi diserap dari kata benda bahasa Belanda
legalisatie atau dari kata benda bahasa Inggris legalization. Kalau kata
benda legalisasi dijadikan kata kerja dengan dibubuhi awalan me- atau 

di-, hasilnya menjadi melegalisasi atau dilegalisasi.

Namun, ada yang beranggapan bahwa legalisir yang benar. Alasannya
bahwa kata tersebut diserap berdasarkan bunyinya legaliseren (Belanda).
Tetapi, kata legaliseren bukan kata benda melainkan kata kerja yang artinya
“mengesahkan” atau “membenarkan”. Jadi, kalau kata legalisir yang sudah
berarti “mengesahkan” diberi awalan me- menjadi melegalisir, arti yang
dikandung menjadi janggal, yaitu memengesahkan, atau kalau diberi awalan
di- arti yang dikandung akan menjadi dimengesahkan.

Demikian pula denga kata proklamir. Kata yang baku ialah proklamasi, dan
bukan proklamir. Halnya sama dengan contoh di atas, ialah proklamasi
merupakan kata serapan dari kata benda bahasa Belanda, proclamatie atau
dari kata benda bahasa Inggris proclamation. Sedangkan kata proklamir
dalam bahasa Belandanya adalah kata kerja proclameren yang berarti
“mengumumkan”. Jadi kalau diberi awalan me- pada kata benda
proklamasi menjadi kata kerja memproklamasikan yang artinya
“mengumumkan” dan bukan memproklamir yang janggal artinya, yaitu
memengumumkan. Nah,mari kita lihat beberapa contoh yang selama ini
dianggap benar, tetapi sebenarnya tidak baku.

Contoh: 1. Kepala seksi ditugaskan untuk mengkoordinir kegiatan itu. (x)
 
       Kepala seksi ditugaskan untuk mengoordinasi kegiatan itu. (○)
     2. Soekarno-Hatta memproklamirkan negara R.I.(x)
       Soekarno-Hatta memproklamasikan negara R.I. (○)

Contoh lain kata-kata yang sering digunakan dalam bentuk yang salah ;
Salah
Benar
Salah
Benar
dilokalisir
dilokalisasi
dikonfrontir
dikonfrontasi
didramatisir
didramatisasi
terorganisir
terorganisasi
dipolitisir
dipolitisasi
dinetralisir
dinetralisasi
mendominir
mendominasi
terealisir
terealisasi
Memang tidak mudah mengubah pemakaian kata-kata yang selama ini
dianggap benar,karena sering dipakai dalam media massa atau oleh para
pejabat. Namun sudah waktunya untuk mengembangkan pemakaian
bahasa Indonesia yang baku dan benar di kalangan masyarakat luas.
Nah itulah kata kata paradigma yang  salah walaupun cuma beda sediikit tapi mengandung arti yang salah. sekarang saya akan membahas tentang arti norma norma sosial yang sering dianggap salah oleh masyarakat tapi kenyataanya benar, Apa Yang dimaksud contoh norma sosial di masyarakat adalah tentang adanya ronda dalam satu RT/RW, contoh lainnya bisa dimisalkan adanya kerja bhakti, gotong royong, kenduri dlsb. andaikan salah satu dari hal ini tidak di lakukan maka akan terjadi masalah dalam masyarakat itu sendiri, misalnya bila tidak ikut dalam ronda, kerja bhakti atau gotong royong maka masyarakat bisa bersatu untuk mengucilkan warga yang tidak mengikuti kegiatan tersebut dengan cara balas dendam yaitu masyarakat tidak akan menghadiri acara orang yang tidak pernah mengikuti kegiatan dimasyarakat tersebut. Bahkan apabila terjadi kecelakaan sehingga perlu bantuan masyarakt sekitar maka masyarakat tersebut tidak akan membantu. Dan segala sesuatu akan dibiarkan atau hanya akan dilihat oleh tetangga atau masyarakat sekitarnya, maka akibatnya akan terkucilkan sendiri..

Contoh lainnya adalah apabila salah satu dari anggota masyarakat tidak mengikuti kenduri secara terus menerus dalam masyarakat itu maka tetangga juga tidak akan menghadiri acara kenduri yang di lakukan oleh salah satu warga yang tidak selalu hadir tersebut. Dan efek sampingnya makanan/kenduri tersebut tidak akan berguna alias mubazir karena tidak ada yang datang pada waktu diundang untuk kenduri, padahal pada waktu diundang masyarakat sendiri menyatakan sanggup untuk datang tapi pada waktunya secara otomatis mereka akan kompak tidak akan menghadiri acara kenduri tersebut.
Weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal itulah yang menjadi pokok persoalan sosiologi. Sehingga inti tesis yang dibuatnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. Tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sedangkan tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan termasuk dalam tindakan sosial.
Secara definitif Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Definisi ini terkandung dua konsep dasar di dalamnya. Pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Kensep kedua menyangkut metode untuk menerangkan konsep pertama.
Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa bisa juga berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu.
Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi. Pertama, tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. Kedua, tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. Ketiga, tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. Keempat, tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. Kelima, tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Tindakan sosial memiliki ciri-ciri lain. Tindakan sosial dapat dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang. Dilihat dari segi sasarannya maka “pihak sana” yang menjadi sasaran tindakan sosial si aktor dapat berupa seorang individu atau sekumpulan orang. Dengan membatasi suatu perbuatan sebagai sustu tindakan sosial, maka perbuatan-perbuatan lainnya tidak termasuk ke dalam obyek penyelidikan sosiologi. Tindakan nyata tidak termasuk sebagai tindakan sosial kalau secara khusus diarahkan kepada obyek mati. Sebabnya ialah karena reaksi yang timbul itu tanpa sesuatu arti yang diarahkan kepada orang lain.
Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Untuk mempelajarinya tidak mudah bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja dia tidak akan yakin bahwa perbuatan itu memepunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Peneliti sosiologi harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor. Sosiolog harus memahami motif dari tindakan si aktor.Meurut Weber untuk memahami tindakan si aktor dapat menggunakan dua cara, yaitu dengan melalui kesungguhan dan dengan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor. Peneliti menempatkan dirinya dalam posisi si aktor serta mencoba memahami barang sesuatu seperti yang dipahami oleh aktor. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah difahami. Terdiri dari Zwerk rational, Werkrational artion, Affectual action, dan Traditional action.
Zwerk rational yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam Zwerk rational tidak absolut. Akan mudah memahami tindakan ini jika aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional. Werktrational artion, dalam tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara yang dipilhnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat jika menggunakan cara yang lain. Dalam tindakan ini antara tujuan dengan cara-cara mencapainya cenderung sulit untuk dibedakan. Tetapi tindakan ini rasional, karena pilihan cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan Werktrational artion masih rasional meski tidal serasional Zwerk rational. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami.
Affectual action merupakan tindakan yang diuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepira-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami dan kurang auat tidak rasional. Traditional actoin merupakan tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja. Kedua tipe tindakan ini merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Sehingga tidak termasuk ke dalam tindakan yang penuh arti dan menjadi sasaran penelitian sosiologi.
Konsep kedua dari Weber adalah konsep tentang antar hubungan sosial (social relationship). Didefinisikan sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain.
Teori Fenomenologi
Teori-teori yang bernaung di bawah paradigma definisi sosial melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang berada d luar individu. Kenyataan sosial tersebut merupakan suatu realitas yang berdiri sendiri di luar sana dan terkadang bisa mempengaruhi individu. Ia bahkan bisa memaksa individu unutk mengikuti kemauannya. Pandangan tentang kenyataan sosial yang demikian berbeda sekali dari pandangan interaksionisme simbolik. Bagi pendukung teori interaksioninsme simbolik, kenyataan sosial tidak mempunyai arti di dalam dirinya sendiri kalau tidak diberi arti oleh individu. Dengan kata lain, realitas sosial sangat bergantung kepada makna yang diberikan individu. Misalnya Stadion Madawat di Maumere bisa mempunyai arti yang berbeda-beda untuk para pemain bola, penjual minuman ringan, pencopet, penonton,dan lain-lain.
Sebagai teori yang bernaung di bawah paradigma definisi sosial, fenomenologi maju selangkah lagi dengan mengatakan bahwa kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu melainkan pada kesadaran subyektif si aktor. Tujuan dari fenomenologi adalah menganalisis dan melukiskan kehidupan sehari-hari atau dunia kehidupan sebagaimana disadari oleh faktor. Dalam melukiskan studi ini seorang individu harus mengurungkan (bracketing off) atau meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang sudah tentang struktur sosial dan mengamati sesuatu secara langsung. Pendukung teori ini berpendapat bahwa sekalipun orang melihat kehidupan sehari-hari seperti terjadi begitu saja,namun analisis fenomenologi bisa menunjukkan bagaimana dunia sehari-hari itu tercipta.
Fenomenologi masuk ke dalam dunia sosiologi melalui karyaAlfred Schutz. Alfred Schutz sendiri dipengaruhi oleh Filsuf Jerman Edmund Husserl. Tetapi sebuah studi sosiologis yang terkenal dengan menggunakanprinsip-prinsip fenomenologi yang terkenal dilakukanoleh P. Berger dan T. Luckman dalam buku mereka yang berjudul The Social Construction of Reallity (1967). Studi yang kedua dilakukan oleh George Psathas dan Frances Waksler di dalam karya mereka yang berjudul Essential Features of Face to Face Interaction (1973). Sebelum menguraikan secara terperinci karya mereka, kita terlebih dahulu melihat pokok-pokok pikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz di dalam fenomenologi.
1. Fenomenologi Awal: Pemikiran Edmund Husserl
1.1 Problem Filosofi Mendasar.
Menurut Edmund Husserl, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mengkonfrontir semua usaha pencaharian filosofi adalah: Apa artinya riil? Apa yang sesungguhnyan ada di dunia ini? Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui apa yang ada? Sebagai seorang filsuf, pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah penting untuk Edmund Husserl dan menarik perhatiannya. Menurut Husserl, manusia mengenal dunia hanya melalui pengalaman. Segala sesuatu tentang dunia di luar sana di terimanya melalu indera-indera dan dapat diketahui hanya melalui kesadaran. Keberadaan orang-orang lain, nilai-nilai, atau norma-norma, dan obyek-obyek fisis lainnya selalu diantarai oleh pengalaman yang seolah-olah mencatat semuanya pada kesadaran manusia. Tetapi oleh karena kesadaran manusia bersifat terbatas dan unik, bagaimana mungkin seseorang mengkleim bahwa apa yang disadarinya itu adalah suatu realitas yang diterima umum atau suatu fakta sosial.
Berhubung kesadaran itu begitu penting dan menjadi sumber pengetahuan, maka pencaharian filosotis harus berusaha untuk mengerti bagaimana kesadaran itu bekerja dan bagaimana ia mempengaruhi manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Proses kerja dari kesadaran seperti itulah yang menjadi perhatian utama dari sosiologi fenomenologi.
1.2 RUANG LINGKUP KESADARAN
Husserl menggunakan istilah “dunia kehidupan” dalam pengertian dunia kehidupan sehari-hari. Dengan konsep ini ia menekankan bahwa manusia bekerja di dalam dunia yang diterima begitu saja dari hari ke hari yang menyerap masuk ke dalam kegiatan mental mereka. Dunia kehidupan sehari-hari itu terdiri dari obyek-obyek, orang-orang, tempat-tempat, ide-ide, dan hal-hal lainnya yang dilihat, diterima oleh manusia sebagai sesuatu yang berada di luar sana (fakta sosial) dan menentukan parameter atau ukuran untuk segala sesuatu yang mereka lakukan. Apa yang mereka lakukan sebagai perwujudan kesadaran mereka dinilai oleh sesuatu yang berada di luar diri mereka (Fakta sosial) seperti masyarakat dengan hukum-hukum, norma-norma, atau nilai-nilai, yang dipegangnya.
Dunia kehidupan sehari-hari atau dunia dengan sikap alamiah merupakan satu realitas atau fakta bagi manusia yang menjadi ciri utama konsep Husserl tentang dunia dengan sikap alamiah. Konsep tersebut menjadi dasar dari fenomenologi modern dan harus mendapat penekanan adalah :
· Dunia kehidupan (sehari-hari )diterima begitu saja (take for granted). Dunia keseharian itu jarang menjadi topik pemikiran reflektif. Kendati demikian, dunia yang diterima begitu saja tanpa refleksi itu mempengaruhi cara-cara manusia bertindak dan berpikir. Dengan kata lain, kehidupan sehari-hari sebagai suatu fakta sosial sangat kuat mempengaruhi individu di dalam bertindak dan berpikir.
· Manusia hidup dengan asumsi bahwa mereka mengalami dunia secara sama. Tetapi oleh karena setiap orang mengalami hanya kesadarannya sendiri yang unik dan khas, maka daia tidak bisa memastikan bahwa asumsi yang lahir dari kesadarannya adalah benar. Dia tidak bisa memastikan bahwa apa yang disadarinya juga disadari oleh orang-orang lain. Tetapi di dalam kenyataanya orang berbuat seolah-olah mereka menyadari hal yang sama dengan membuat asumsi bahwa mereka mengalami dunia sosial yang sama.
Oleh sebab itu kegiatan manusia dilakukan dalam dunia kehidupan (sehari hari) yang diterima begitu saja dan kemudian menganggap bahwa mereka mengalami hal yang sama tidak bisa diterima. Apabila dunia kehidupan (sehari-hari) seseorang membentuk kesadarannya dan mempengaruhi tingkah lakunya, bagaimana pengetahuan obyektif tentang tingkah laku dan organisasi manusia menjadi mungkin?. Ini menjadi pertanyaan yang menyebabkan Husserl mengkritik ilmu alam dan ilmu positif.
1.3 Kritik Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan berasumsi bahwa dunia fakta berada di luar sana dan bersifat independen dan eksternal terhadap kesadaran manusia. Tetapi Husserl menentang pandanagn ini dengan menyatakan banwa jika seseorang mengetahui sesuatu hanya melalui kesadaran, dan kesadaran itu dibentuk oleh dunia kehidupan (sehari – hari) yang diterima begitu saja. Bagaimana mungkin ukuran obyektif dari dunai eksternal itu bisa diperoleh? Bagaimana ilmu pengetahuan dapat mengukur secara obyektif sebuah dunia eksternal sementara satu – satunya dunia yang dialami oleh seseorang individu adalah dunia kehidupan (sehari – hari dari kesadarannya sendiri).
1.4 Jalan Keluar Yang Dianjurkan Husserl
Jalan keluar yang dianjurkan oleh Husserl untuk memecahkan masalah ini bersifat filosofis. Dia membela apa yang diistilahkannya mengambil esensi dari kesadaran guna memahami peristiwa – peristiwa sosial, proses dasar melalui mana peristiwa – peristiwa itu diterima yakni kesadaran harus difahami. Isi substantif dari kesadaran atau dari dunia kehidupan (sehari –hari) bukanlah hal yang paling penting melainkan proses abstrak dari kesadaran itulah yang harus menjadi pencarian filosofis.
Husserl membela apa yang diistilahkannya dengan “abstraksi radikal” dari pengalaman interpersonal. Orang harus berusaha membatalkan untuk sementara (suspend) atau mengurangkan (bracketing) sikap alamiah (sikap biasa – biasa) mereka dan berusaha mengerti proses – proses fundamental dari kesadaran itu sendiri. Husserl bermaksud menciptakan sebuah teori abstrak tentang kesadaran yang mengurungkan (bracketed out) atau menunda (suspended) segala macam asumsi tentang dunia sosial yang bersifat eksternal di luar sana.
Sumbangan Husserl Untuk Fenomenologi doktrin filosofi Huseseri kelihatan gagal. Dia tidak berhasil mengembangkan teori abstrak tentang kesadaran manusia yang secara radikal ditarik dari dunia kehidupan (sehari-hari) tetapi ide-idenya menjadi dasar dari fenomenologi dan pengembangannya dalam etnometodologi. Pokok-pokok pikirannya yang kini menjadi dasar dari fenomenologi moderen dapat diringkasaskan sebagai berikut :
a. penekanan terhadap proses-proses abstrak dari kesadaran merangsang parapemikir yang lebih kemudian untuk mencari tahu bagaimana proses-proses seorang individu bisa membentuk hakekat dunia sosial. Dunia tidak dilihat sebagai sesuatu yang dihadirkan kepada kesadaran, tetapi diciptakan dari proses subyektif pikiran manusia.
b. keprihatinnya tehadap penciptaan dunia kehidupan (sehari-hari) menghantar paraahli untuk mempertannyakan bagaimana manusia menciptakan rasa realitas dan bagaimana rasa realita ini dipertyentangkan dengan ‘sesuatu yang bener-benar rill’
c. kritik terhadap ilmu sosial telah membantu orang-orang di dalam fenomenologi, berpendapat bahwa ilmu sosial yang sungguh-sungguh adalah tidak mungkin ataupun sekurtang-kurangnya
d. kegagalan Husserl untuk mengembangkan teori abstrak tentang kesadaran meyakinkan para pendukung fenomenologi bahwa memahami kesadaran manusia dan kenyataan sosial hanya bisa terjadi dengan meneliti individu di dalam interaksi aktual dan bukannya melalui abstrak radikal.
2. Fenomenologi Alfred Schutz
Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimanan kehidupan bermasyarakat itu dapat terbentuk. Alfred Schutz memliki teori yang bertolak belakang dari pandangan Weber. Alfred berpendapat bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.
Pemahaman secara subyektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan beraksi atau bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor.
Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subyektivitas yang disebutnya, antar subyektivitas. Konsep ini menunjuk kepada pemisahan keadaan subyektif atau secara sederhana menunjuk kepada dimensi dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi. Intersubyektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi.
Konsep intersubyektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterpretasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja sama di hampir semua organisasi sosial.
Schutz memusatkan perhatiannya kepada struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan berlangsung melalui penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing baik antar individu maupun antar kelompok.
2.1 Empat unsur pokok dari teori ini
Pertama, perhatian terhadap aktor. Persoalan dasar ini menyangkut metodologi. Bagaimana caranya untuk mendapatkan data tentang tindakan sosial itu subyektif mungkin. Penggunaan metode ini dimaksudkan pula untuk mengurangi pengaruh subyektivitas yang menjadi sumber penyimpangan, bias dan ketidaktepatan informasi. Menurut pandangan ahli ilmu alam hal seperti itu tidak mungkin dilakukan terhadap obyek studi sosiologi.
Pendekatan obyektif dalam sosiologi sebenarnya sudah dimulai oleh Durkheim, dengan menyatakan fakta sosial sebagai barang sesuatu yang nyata. Pendekatan ini mendesak para sosiolog untuk mengumpulkan data secara obyektif tentang fakta sosial dengan mengurangi peranan kesan-kesan dan ide si peneliti sendiri tentang kenyataan sosial. Namun pendekatan obyektif yang digunakan di ilmu alam justru tidak akan mampu mengungkapkan kenyataan sosial secara obyektif. Alasannya manusia yang menjadi obyek penelitian bukan hanya sekedar obyek dalam dunia nyata tetapi sekaligus merupakan pencipta dari dunianya sendiri.
Sehingga dapat dikatakan naif kalau ada yang beranggapan bahwa seseorang akan dapat memahami keseluruhan tingkah laku manusia, hanya dengan mengarahkan perhatian kepada tingkah laku yang nampak atau yang muncul secara konkrit saja. Tantangan bagi ilmuwan sosial adalah untuk memahami makna tindakan aktor yang ditujukannya juga kepada dirinya. Bila pengamat menerapkan ukuran-ukurannya sendiri atau teori-teori tentang makna tindakan, dia tidak akan dapat menemukan makna yang sama di antara aktor itu sendiri. Dia tidak akan pernah menemukan bagaimanan realita sosial itu diciptakan dan bagaimanan tindakan berikutnya akan dilakukan dalam kontek pengertian mereka.
Kedua, memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau yang pokok dan kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude). Alasannya adalah bahwa tidak keseluruhan gejala kehidupan sosial mampu diamati. Karena itu perhatian harus dipusatkan kepada gejala yang penting dari tindakan manusia sehari-hari dan terhadap sikap yang wajar. Proses terbentuk fakta sosial menjadi pusat perhatian dan jelas bukan bermaksud mempelajari fakta sosial secara langsung. Bedanya terletak pada bahwa sementara paradigma fakta sosial mempelajari fakta sosial sebagai pemaksa terhadap tindakan individu, maka fenomenologi mempelajari bagaimanan individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta sosial yang memaksa mereka itu.
Ketiga, memusatkan perhatian kepada masalah mikro. Mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu.
Keempat, memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya. Manusia bukanlah wadah yang pasif sebagai tempat menyimpan dan mengawetkan norma-norma .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar